Kehidupan budaya di Jerman mempunyai
banyak segi. Terdapat sekitar 300 teater tetap dan 130 orkes profesional antara
Flensburg di utara dan Garmisch di se latan. 630 museum seni rupa dengan
koleksi serbaneka yang bertaraf tinggi menurut ukuran internasional membentuk
jaringan museum yang unik. Seni lukis muda juga sangat hidup di Jerman dan
telah mendapat tempat di dunia internasional. Dengan sekitar 94.000 judul buku
baru yang diterbitkan atau dicetak ulang tiap tahun, Jerman juga tergolong
negara perbukuan yang besar. 350 judul surat kabar harian dan ribuan judul
majalah membuktikan perkembangan dunia media yang baik. Sukses baru juga
tercatat oleh produksi film – tidak hanya di bioskop Jerman, melainkan di
berbagai negara di dunia.
Negara pujangga dan pemikir. Goethe
orang Jerman, begitu pula Bach dan Beethoven. Walau begitu tidak tampak adanya
kompetensi kultural pada Jerman sebagai nasion berbudaya. Kebudayaan adalah
urusan negara bagian, begitulah ketetapan dalam konstitusi. Mengapa urusan
kebudayaan di Jerman merupakan hal yang tidak dapat atau tidak perlu ditangani
oleh seluruh bangsa? Sejak era Kaisar Wilhelm pada akhir abad ke-19, kebudayaan
Jerman sebagai ungkapan nasion Jerman sudah dicurigai sebagai keangkuhan.
Musibah nasionalsosialisme kemudian mencetuskan orientasi baru yang dilaksanakan
secara konsekuen. Seusai Perang Dunia II, orang menyadari bahwa Jerman hanya
dapat kembali ke komunitas bangsa sedunia apabila dihindarinya kesan adanya
semangat budaya nasional yang berlebihan. Dengan mempertimbangkan hal itu juga,
pada saat pendirian Republik Federal Jerman tahun 1949 orang mengingat tradisi
federalistis dan menyerahkan kewenangan budaya kepada negara bagian. Baru sejak
tahun 1999 terdapat menteri negara kebudayaan dan media pada Kekanseliran
Federal. Sejak waktu itu ada satu dan lain urusan budaya yang kembali diang gap
sebagai hal yang menyangkut seluruh bangsa. Bantuan untuk perfilman diatur
kembali pada tingkat federal, Yayasan Budaya Federal pun didirikan. Berlin kian
berkembang menjadi magnet bagi kelas kreatif dan tempat bercampur-baurnya aneka
kebudayaan. Museum-museumnya mencerminkan seluruh sejarah umat manusia.
Memorial Holocaust menguji kesanggupan bangsa Jerman untuk menghadapi
sejarahnya. Secara mengesankan dibuktikannya bahwa politik ke budayaan nasional
telah menjadi kebutuhan pada abad ke-21. Di lain pihak, federalisme kebudayaan
membangkitkan ambisi negara bagian. Politik kebudayaan memajukan lingkungan
setempat. Contohnya daerah Ruhrgebiet di negara bagian Nord rhein-Westfalen,
yang dahulu dihuni oleh buruh tambang dan buruh pabrik baja. Sejak
bertahun-tahun Ruhrgebiet mengubah wajahnya menjadi daerah budaya. Sebagai “Ibu
Kota Budaya Eropa Ruhr 2010” diperlihatkannya, bagaimana bagaimana lingkungan
kreatif dapat membuka jalan ke masa depan.
SASTRA
Jerman
negara buku: Dengan hampir 95.000 judul buku baru dan cetakan ulang per tahun,
Jerman termasuk negara besar penghasil buku di dunia. Pekan Raya Buku Internasional Frankfurt yang
diselenggarakan setiap bulan Oktober tetap menjadi ajang pertemuan terbesar
bagi penerbit internasional. Di samping itu Pekan Raya Buku lebih kecil yang
dilaksanakan pada musim semi di Leipzig telah menjadi tenar sebagai pesta
pembaca. Sejak reunifikasi Berlin menempatkan diri sebagai pusat sastra dan
kota penerbit internasional (antara lain Suhrkamp-Verlag, Aufbau Verlag) yang
menghasilkan sastra metropolitan yang memikat, yaitu sastra yang tidak ada lagi
di Jerman sejak berakhirnya Republik Weimar. Tak ada orang yang dapat
memastikan bahwa buku-buku yang dibeli memang dibaca juga. Akan tetapi
kegemaran membaca memang tidak berkurang, di zaman internet sekalipun. Publik
berjubel untuk menghadiri festival seperti LitCologne di Köln, Poetenfest di
Erlangen dan sejumlah festival lain. Biar begitu hanya sejumlah kecil pengarang
yang karyanya mencapai tiras jutaan eksemplar di pasaran buku Jerman. Pada
dasawarsa pertama abad ke-21, nama pengarang yang meraih sukses di dunia
internasional menempati urutan pertama di daftar “bestseller”. Termasuk di
antaranya Joanne K. Rowling, Dan Brown, Ken Follet dan Cornelia Funke, penulis
buku anak-anak Jerman. Hanya satu dua di antara buku yang teksnya bernilai
sastra berhasil menempati peringkat utama. Termasuk di antaranya, di samping
buku laris karya Daniel Kehlmann “Die Vermessung der Welt” (Pengukuran Bumi -
2006), roman karangan Charlotte Roche “Feuchtgebiete” (Daerah Lembap - 2008)
yang menimbulkan diskusi mengenai seksualitas dan citra peran perempuan.
Terungkap oleh diskusi yang ramai itu, bahwa sastra tetap dapat membahas tema
yang relevan bagi masyarakat umum, walaupun sifat temanya pribadi dan kurang
berbau politik.
Sejak dilembagakannya Deutscher Buchpreis (Hadiah Perbukuan
Jerman) untuk novel terbaik pada tahun 2005, yang mencontohkan Booker Prize di
Inggris atau Prix Goncourt di Perancis, diperoleh sukses juga dalam memasarkan
sastra bermutu di kalangan luas. Selain hadiah uang, pemenang Deutscher
Buchpreis memperoleh juga tiras tinggi untuk karyanya serta perhatian media.
Kisah keluarga karangan Julia Franck “Die Mittagsfrau” (Sang Perempuan Tengah
Hari - 2007), epos mengenai keruntuhan RDJ setebal hampir seribu halaman
tulisan Uwe Tellkamp “Der Turm” (Menara - 2008) dan roman berciri autobiografi
oleh Kathrin Schmidt “Du stirbst nicht” (Kau Tak Akan Mati – 2009) termuat di
daftar buku laris selama berbulan-bulan. Walaupun beberapa sastrawan terkemuka
dari masa pascaperang masih tetap berkarya, seperti penerima Hadiah Nobel untuk
Sastra Günter Grass, dan juga Martin Walser, Hans Magnus Enzensberger dan
Siegfried Lenz, namun buku baru mereka kurang memberi impuls dari segi bentuk
bahasa. Setelah masa pascaperang dengan karya yang kaya akan inovasi estetis,
dan sastra tahun 1970-an yang ditandai oleh analisis sosial serta oleh
eksperimen kebahasaan dan bentuk, sekitar pergantian milenium dapat kita lihat
gerakan kembali kepada bentuk cerita tradisional, kepada kisah yang diceritakan
dengan kesederhanaan yang halus (Judith Hermann, Karen Duve). Di samping hasil
seni bercerita muncul karya yang bereksperimen dengan bentuk (Katharina
Hacker), tulisan para penyeberang batasan budaya yang bermain dengan
aneka bentuk sastra (Feridun Zaimoglu, Ilija Trojanow), atau kekuatan
ekspresi yang tidak tersentuh oleh mode apapun dari Herta Müller asal Rumania.
Setelah dianugerahi Hadiah Nobel untuk Sastra 2009, karyanya diperhatikan juga
di luar kalangan pencinta sastra.
Pada waktu yang sama batas yang dahulu ditarik antara sastra
tinggi dan buku fiksi bersifat hiburan semakin kabur. Pada pengarang muda dan
setengah baya jarang ditemukan sikap bercampur tangan dalam urusan politik atau
moral. Namun dalam apa yang kelihatan seperti gerak mundur ke dalam urusan
pribadi justru dibahas tema-tema yang sejak dahulu kala diutamakan oleh sastra:
Bagaimana cara perorangan menghadapi tuntutan dan tantangan oleh masyarakat?
Bagaimana dampak keadaan ekonomi yang mendominasi dunia bagi individu? Dilihat
dari sudut ini, hal pribadi dalam sastra kontemporer tak terlepas dari urusan
politik juga.
TEATER
Di mancanegara dunia teater Jerman
tidak jarang dicap sebagai ribut dan dilanda narsisme. Akan tetapi di
belakangnya terdapat sistem yang sering dikagumi. Kota madya pun memiliki
gedung pertunjukan untuk ketiga jenis seni panggung (sandiwara, opera, balet)
yang menarik dari segi artistik. Sebagian besar di antaranya tergolong tipe
teater repertoar, berarti daftar pertunjukannya mencakup beberapa karya pentas
yang biasanya dibawakan oleh ansambel tetap. Secara keseluruhan terbentuk
semacam panorama teater, sebuah jaringan rapat yang terdiri dari teater milik
negara bagian dan kota, teater keliling dan teater swasta. Sumbangan masyarakat
Jerman bagi teater cukup besar: bentuknya gagasan, perhatian dan subsidi.
Banyak orang menganggap panggung-panggung sebagai hal mewah, mengi ngat
pendapatan teater dari karcis masuk pada umumnya hanya mencapai sepuluh atau
lima belas persen dari pengeluarannya. Akan tetapi sistem subsidi telah
melewati titik kulminasi dalam perkembangannya dan sedang berada dalam tahap
yang sulit, karena seni suka diukur dengan prasyarat materinya.
Peter Stein, tokoh unik dalam teater
Jerman, adalah “sutradara kelas dunia” yang berbeda dari pengarah pementasan
lain dengan menciptakan karya yang dapat dikenali melalui kontinuitas
pengulangan motif, tema dan pengarang. Gaya penyutradaraannya mengutamakan
teks. Antara angkatan seniman yang berteater sekarang dan tokoh seperti Peter
Stein, Claus Peymann, direktur artistik Berliner Ensemble, atau Peter Zadek (†
2009) terbentang jarak yang jauh. Perbendaharaan kata yang dipakai generasi
mereka itu tidak cocok lagi untuk teater kontemporer. Pengertian seperti
mencerahkan, mengajari, menelanjangi atau bercampur tangan berkesan usang.
Penonton pun tak dapat dikagetkan lagi, provokasi di atas panggung biasanya
berlalu tanpa sahutan dan sering tidak lebih daripada serangan terhadap klise
usang yang dilancarkan dengan rutinitas. Teater angkatan muda tidak lagi mau menjadi
“avant-garde”, melainkan mencari bentuk ekspresi tersendiri. Berkenaan dengan
tren ini jumlah pertunjukan perdana karya dramawan kontemporer meningkat secara
tajam sesudah pergantian abad. Terlepas dari mutunya yang sangat bervariasi,
pementasan tersebut menunjukkan seluruh kebinekaan bentuk seni pertunjukan;
drama tradisional bercampur dengan pantomim, tari, proyeksi cuplikan film dan
musik menjadi paduan yang selalu baru. Tidak mengherankan kalau pementasan yang
gayanya sering terbuka dan bersifat improvisasi itu umumnya disebut “instalasi
dramatis” atau “adaptasi untuk panggung”.
Frank Castorf, kepala teater Freie
Volksbühne Berlin, yang membiarkan teks sandiwara diutak-atik dan disusun
kembali sesukanya menjadi salah seorang yang diteladani oleh generasi muda
sutradara itu. Nama Christoph Marthaler dan Christoph Schlingensief juga
menandai pandangan baru mengenai seni panggung dan pencarian kemungkinan
ekspresi baru yang sesuai dengan globalisasi kapitalisme dan kehidupan yang
didominasi oleh media elektronis. Michael Thalheimer diang gap sebagai ahli
untuk tema yang sulit yang mengupas perso alan dengan melihat intinya. Armin
Petras, Martin Kusej atau René Pollesch telah menciptakan bentuk pementasan
yang meng utamakan gaya: cara bercerita tradisional dengan berpegang pada teks
terasa agak asing bagi mereka. Terhadap sikap itu selalu diutarakan kritik,
kritik yang seolah-olah membuktikan bahwa dunia teater penuh hidup, biarpun
tidak sejiwa.
Teater sanggup bereksistensi terus meskipun ada
penghancur karya drama seperti Frank Castorf, dan pada waktu yang sama dapat
disorakinya interpretasi kesutradaraan teliti yang mengutamakan kesanggupan
para aktor. Kebinekaan yang diperagakan setiap tahun oleh Pertemuan Teater Berlin dapat ditafsirkan di satu pihak sebagai
ungkapan rasa bingung yang bertambah kuat, namun di lain pihak sebagai
tanggapan de ngan beraneka suara atas persoalan yang muncul dalam realitas
masyarakat yang serba kompleks. Publik yang berperhatian
penuh akan memperoleh manfaat dari kebinekaan tersebut yang selalu memberi kunci baru untuk memahami teks yang seolah-olah sudah dikenal. Terserah apakah kebinekaan itu membingungkan, menjengkelkan atau menghibur kita, selalu diciptakannya gambaran baru mengenai hidup kita.
penuh akan memperoleh manfaat dari kebinekaan tersebut yang selalu memberi kunci baru untuk memahami teks yang seolah-olah sudah dikenal. Terserah apakah kebinekaan itu membingungkan, menjengkelkan atau menghibur kita, selalu diciptakannya gambaran baru mengenai hidup kita.
MUSIK
Nama baik Jerman sebagai negara musik
yang penting tetap terkait dengan nama penggubah seperti Bach, Beethoven,
Brahms, Händel dan Richard Strauss. Mahasiswa datang dari seluruh dunia untuk
belajar di perguruan tinggi musik, pencinta musik mengunjungi festival-festival
– dari Festival Wagner di Bayreuth sampai Donaueschinger
Musik tage untuk musik kontemporer. Di Jerman terdapat 80 teater musik
yang dibiayai oleh dana publik, yang terkemuka di antaranya gedung opera di
Hamburg, Berlin, Dresden dan München serta di Frankfurt am Main, Stuttgart dan
Leipzig. Orkes Fil harmoni Berlin pimpinan dirigen Inggris
terkenal Sir Simon Rattle dianggap sebagai yang terbaik di antara sekitar 130
orkes di Jerman. Kelompok “Ensemble Modern” di Frankfurt memajukan produksi
musik kontemporer dengan mementaskan sekitar 70 karya baru per tahun, di
antaranya 20 pagelaran perdana. Di samping dirigen yang dikenal di dunia
internasional seperti Kurt Masur atau Christoph Eschenbach ada pemimpin orkes
yang menonjol di generasi lebih muda, yaitu Ingo Metzmacher dan Christian
Thielemann. Penyanyi dan pemain instrumen yang tergolong paling baik di dunia
adalah Waltraud Meier, soprano, Thomas Quasthoff, bariton, dan pemain klarinet
Sabine Meyer. Pemain biola Anne-Sophie Mutter tampil di muka publik yang sangat
besar dan yang tidak selalu menikmati musik klasik saja. Violinis inilah yang
menjadi bintang Jerman di dunia musik.
Sejak pertengahan abad ke-20,
perkembangan musik kontemporer di dunia ikut ditentukan oleh pelopor-pelopor
musik elektronis seperti Karlheinz Stockhausen († 2007) dan antipodenya yang
mempertahankan tradisi, komponis opera Hans Werner Henze. Dewasa ini musik kontemporer
memadukan beberapa gaya: Heiner Goebbels menghubungkan musik dengan teater,
Helmut Lachenmann menelusuri kemungkinan ekspresi instrumen sampai ke batas
ekstrem. Wolfgang Rihm menunjukkan kemungkinan perkembangan ke arah musik yang
lebih mudah dipahami.
Di sisi lain spektrum musik ada
penyanyi pop Herbert Grönemeyer yang tahu semangat zaman dan suasana hati peng
gemarnya. Sejak bertahun-tahun diraihnya sukses dengan lagu-lagu berbahasa
Jerman. Grup musik punkrock “Die Toten Hosen”, formasi heavy metal “Rammstein”
dan grup remaja “Tokio Hotel” juga tergolong kategori superstar Jerman. Selama
beberapa tahun terakhir ini, seniman seperti penyanyi Xavier Naidoo (“Söhne
Mannheims”) berhasil dengan mengacu pada gaya soul dan rap Amerika Serikat.
Khususnya sebagai pembawa jenis musik ini ditemukan banyak pemusik muda yang
berasal dari keluarga migran dan yang berhasil menjadi bintang, di antaranya
Laith Al-Deen, Bushido, Cassandra Steen dan Adel Tawil. Sukses grup musik “Wir
sind Helden” dari Berlin akhir-akhir ini menimbulkan gelombang pendirian grup
musik Jerman muda. Pendirian “Akademi Pop” di Mannheim memperlihatkan kemauan
politik untuk meningkatkan daya saing musik pop Jerman.
Dalam hal klub musik pun Jerman dapat
membang gakan banyak lokasi tenar, terutama di kota besar seperti Berlin, Köln,
Frankfurt am Main, Stuttgart dan Mannheim. De ngan adanya tren disko pada tahun
1970-an, rap/hiphop tahun 1980-an dan gaya techno tahun 1990-an, para DJ
beremansipasi menjadi seniman nada dan produsen. Melalui teknik scratching,
sampling, remix dan pemakaian komputer, piringan hitam berubah menjadi bahan
baku untuk metamusik yang dapat diubah sesuka hati. Dua mahabintang klub musik
pun datang dari Jerman, yaitu Sven Väth yang dijuluki “Godfather of Techno” dan
Paul van Dyk.
PERFILMAN
Menjelang pergantian milenium muncul karya ceria yang
membangkitkan dunia perfilman Jerman: “Lola rennt” (Lola Berlari, 1998) karya
Tom Tykwer. Film komedi eksperimental mengenai Lola, si gadis berambut merah,
mengenai nasib, cinta dan hal- hal kebetulan mencerminkan perasaan hidup di
akhir tahun sembilan puluhan. Perjuangan Lola yang nekad berlari melin tasi
Berlin dengan melawan waktu diartikan di seluruh dunia sebagai kiasan
ketergesaan zaman kita. Dengan “Lola rennt”, sutradara Tom Tykwer mendobrak
pintu ke dunia perfilman internasional. Fase kemajuan untuk film Jerman
dimulai. Untuk pertama kali sejak era apa yang disebut “film pencipta” dan masa
berkaryanya tokoh Rainer Werner Fassbinder († 1982), pengamat di luar negeri
kembali memperhatikan film Jerman yang meraih sukses internasional. Pada tahun
2002, Caroline Link menerima Hadiah Oscar untuk “Nirgendwo in Afrika”, trofi
yang sama diraih 2007 oleh Florian Henckel von Donnersmarck untuk film
perdananya “Das Leben der Anderen”. Festival Film Cannes pada tahun yang sama memberikan
hadiah untuk skenario terbaik serta hadiah istimewa kepada Fatih Akin untuk
film “Auf der anderen Seite”.
Pada awal milenium baru, sineas Jerman meraih sukses yang
tak tersangka dengan film jenis komedi – seperti “Die fetten Jahre sind vorbei”
(2004) karya Hans Weingartner. Sebaliknya, perhatian menjelang akhir dasawarsa
pertama difokuskan pada film yang berbobot. Namun tema-tema tidak berubah. Film
jenis tragikomedi “Good Bye, Lenin!” (2003) diputar dengan sukses di 70 negara
lebih, sebab diperlihatkannya juga kegagalan sosialisme. Film karya
Donnersmarck “Das Leben der Anderen” (2007) bertemakan kehidupan warga Jerman
Timur di bekas RDJ di bawah pengawasan dinas rahasia Stasi.
Dengan nada berat yang mencekamkan, Fatih Akin, warga
Hamburg bernenek moyang Turki, menggambarkan kehidupan di Jerman. Dalam drama
“Gegen die Wand” (2004) yang antara lain meraih hadiah Goldener Bär pada Festival Film Berlin, Akin memaparkan kisah cinta dua
insan Jerman-Turki dan keterombang-ambingan mereka antara dua kebudayaan.
Presisi cerita film itu berkesan menyakitkan, tetapi tidak ce ngeng. Pada tahun
2007, dalam drama “Auf der anderen Seite” (Di Seberang), digambarkannya kisah
enam orang di Jerman dan di Turki yang nasibnya saling bertautan. Juri Hadiah Film Jerman memberi empat penghargaan sekaligus untuk
karya itu. Dengan “Soul Kitchen” (2009), Akin mengungkapkan apresiasinya untuk
kota Hamburg, kali ini dalam bentuk komedi.
Film-film Jerman berhasil, karena ceritanya yang bersifat
nasional dan penggarapan sinematografis dari cerita itu mem bahas tema
universal. Namun materi yang diolah oleh para pembuat film, mereka angkat dari
perkembangan dan perubahan di negara sendiri dan di jalan hidup masing-masing.
SENI RUPA
Sejak tahun 1990-an, seni lukis dan
fotografi dari Jerman meraih sukses besar di dunia internasional. Apa yang
disebut “keajaiban lukisan baru Jerman” dikenal di luar negeri sebagai “Young
German Artists”. Para seniman berasal dari Leipzig, Berlin atau Dresden. Neo
Rauch adalah wakil paling tenar dari “Mazhab Leipzig Baru”. Gaya mazhab
tersebut ditandai oleh realisme baru yang berkembang – bebas ideologi – dari
“Mazhab Leipzig” lama, yang termasuk lingkup seni rupa bekas RDJ. Lukisannya
sering memperlihatkan orang-orang pucat yang seolah-olah menunggu sesuatu yang
tak tentu. Motif itu dapat ditafsirkan sebagai pantulan keadaan di Jerman pada
awal milenium baru. Apa yang disebut “Dresden Pop”, di antaranya Thomas
Scheibitz, memetik unsur dari iklan dan dari estetika video dan televisi sambil
bermain dengan estetika swakaji mengenai sini dan kini. Kebanyakan seniman
generasi menengah menganggap pembahasan kritis mengenai nasionalsosialisme,
seperti yang ditemukan dalam kar ya Hans Haacke, Anselm Kiefer dan Joseph
Beuys, sebagai urusan masa lampau. Sebaliknya yang tampak di kalang an perupa
ialah “kebatinan baru” serta penggarapan bidang-bidang pengalaman yang saling
berbenturan: Karya-karya Jonathan Meese dan André Butzer mencerminkan depresi
dan fenomena-fenomena obsesi; kedua perupa itu dianggap sebagai wakil “realisme
neurotik”. Dengan karyanya “Mental Maps”, Franz Ackermann menggambarkan dunia
sebagai desa global dan memperlihatkan musibah yang berlangsung di balik layar.
Tino Sehgal menghasil kan karya seni yang eksistensinya terbatas pada waktu
“performance”-nya dan yang tidak boleh direkam; ia mencari bentuk produksi dan
bentuk komunikasi di luar batas ekonomi pasaran.
Besarnya perhatian kepada seni rupa di
Jerman tercermin pula dalam pamerandocumenta yang diseleng garakan lima tahun sekali di
Kassel sebagai pameran seni rupa aktual yang terkemuka di dunia; documenta 13 akan dibuka pada tanggal 9 Juni 2012.
Berbeda dengan seni rupa – yang arti pentingnya digarisbawahi oleh pendirian
sejumlah museum swasta baru – seni fotografi harus berjuang lama sampai diakui
sebagai bentuk seni yang mandiri. Sebagai pelopor pada tahun 1970-an dikenal
Katharina Sieverding dengan rangkaian potret dirinya yang menelusuri batas
antara individu dan masyarakat. Terobosan terjadi pada tahun 1990-an dengan
sukses yang diraih tiga murid dari Bernd dan Hilla Becher, pasangan suami istri
fotografer: Dalam karya foto mereka, Thomas Struth, Andreas Gursky dan Thomas
Ruff menimbulkan realitas mengilap yang me nyembunyikan sesuatu. Pengaruh
kelompok ini terhadap corak fotografi internasional begitu besar sehingga
mereka dinamakan “Struffsky” saja.
0 komentar:
Posting Komentar